LABUAN BAJO | Insideflores.id |
Sejumlah perwakilan tokoh adat dari masyarakat Labuan Bajo dan sekitarnya sampaikan pernyataan sikap bersama, terkait persoalan tanah di Labuan Bajo belakangan ini.

Tokoh adat tersebut diantaranya; tokoh adat Rareng, Rai, Terlaing dan Lancang. Pada Minggu,(15/1/23), mereka mengadakan rapat bersama sekaligus bersepakat menyampaikan pernyataan sikap terkait persoalan tanah itu.

BACA JUGA: Heboh, Ratusan Pelajar di Ponorogo Hamil di Luar Nikah

Berlangsung di Kampung Lancang, Manggarai Barat, NTT, Pertemuan ini bertujuan untuk membahas kondisi tanah adat pada saat sekarang.

Tokoh Adat dari Masyarakat Adat Lancang Mikael Antung mengatakan, hasil pernyataan sikap bersama tersebut akan diberikan kepada Bupati Manggarai Barat, Polres Mabar, Kejari, BPN dan kantor DPRD Mabar.

Berikut poin-poin pernyataan itu antara lain:

Pertama menegaskan bahwa setiap kampung adat itu pasti ada warganya.

BACA JUGA: PT Bunga Raya Lestari Suplai Material Ilegal Pembangunan Tanah Mori

Kedua, setiap kampung adat selalu memiliki compang (mesbah sakral) dan gendang.

Ketiga bahwa setiap masyarakat adat, apakah status Beo, Riang dan Mukang selalu memiliki struktur pengurusan adat dan bersifat otonom.

“Dalam tradisi Manggarai, tabu jika ada pihak luar melakukan intervensi soal struktur pengurusan adat ini,” tegas Mikhael.

Setiap masyarakat adat selalu memiliki tanah adat.

BACA JUGA: Proyek Jalan Kaca-Pumpung Lembor Selatan Menuai Kritik Warga

“Jadi sebagai masyarakat adat maka masyarakat adat Rareng, Rai, Lancang dan Terlaing memiliki warga adat, rumah adat, compang dan tanah ulayat,” lanjutnya.

Selain itu, setiap tanah adat sudah ada batas-batas sesuai kesepakatan para leluhur terdahulu.

Sampai hari ini empat masyarakat di wilayah Boleng yaitu Rareng, Rai, Terlaing dan Lancang masih memegang teguh aturan adat atau hukum adat.

“Masyarakat berharap bahwa para pihak yang mengklaim atau menyerobot tanah adat akan berhadapan massa warga adat dan itu berbahaya”, jelas Mikhael.

Karena itu masyarakat meminta pemerintah dan penegak hukum untuk menindak tegas terhadap orang-orang atau para mafia tanah yang mengambil tanah adat.

“Khusus terhadap kasus Bonavantura Abunawan, yang mengklaim tanah adat Wangkung, Rareng, Rai, Tebedo, Nggorang, Lancang dan Terlaing sebagai milik kampung adat Mbehal, perlu ditindak tegas,” harap Mikhael.

Masyarakat adat dukung penuh jajaran penegak hukum mulai dari Polda NTT, Polres Mabar, Kejati di Kupang dan Kejari di Labuan Bajo untuk menuntaskan kasus ini sebaik-baiknya. (MKJ***)