Festival Kampung yang diselenggarakan SMKN 3 Komodo.(Ist/Ins)

Penulis:Adrianus Peat, S.Par., CGSP

INSIDEFLORES|WISATA-Diogenes dari Sinope, seorang filsuf Yunani klasik yang juga dikenal sebagai filsuf Sinis (Sinyc philosopher), diceritakan membawa lentera (lampu) di siang bolong mencari manusia yang jujur (honest man) di tengah kerumunan warga Athena. Dengan mengarahkan lentera itu di hadapan muka orang-orang Athena, Diogenes sebenarnya sedang mengkritik kemunafikan (hypocrisy) yang telah membuat mereka mengabaikan kebajikan, hidup jujur.

Diogenes sebenarnya bukan filsuf pertama yang melancarkan kritik terhadap orang-orang Athena. Sebagaimana diuraikan World History Encyclopedia, Heraklitus, Xenofanes, dan Socrates sebenarnya juga secara konsisten menuntut orang-orang Athena agar bangun dari keadaan mimpi (dream state) sehingga mereka benar-benar sadar akan dirinya sendiri dan akan dunia (full awareness of themselves and the world). Namun, Diogenes menempati posisi unggul dalam Mazhab Sinisme sebab ia tidak hanya melancarkan kritik dengan kata-kata, tetapi juga dengan mendemonstrasikan kritik itu di depan orang-orang Athena. Bagi Diogenes, orang-orang Athena terjebak dalam dunia khayalan yang membuat mereka tidak sadar akan realitas yang sesungguhnya. Sebab itu, dengan mendemonstrasikan lentera di siang bolong, Diogenes membuka selubung yang menghalangi mata orang-orang Athena dan membangunkan mereka dari tidur yang berkepanjangan.

Kritik dan demonstrasi ala Diogenes merupakan suatu keniscayaan di tengah perkembangan dunia dewasa ini. Peradaban manusia telah berkembang pesat dalam banyak bidang. Namun, seperti kritik Diogenes, mayoritas manusia modern masih hidup dalam dunia mimpi. Kehidupan yang dipenuhi dengan bualan dan khayalan membuat manusia zaman ini kurang responsif terhadap perkembangan terkini. Karena itu, aksi ala Diogenes sebenarnya bukan suatu tindakan gila, melainkan suatu strategi untuk mengembalikan mayoritas orang pada kesadaran yang penuh. Dengan cara demikian, masyarakat manusia semakin antisipatif dan kreatif menghadapi dunia dengan segala kompleksitas peluang dan tantangan di dalamnya.

Festival kampung di bukit Porong Tedeng.(Ist/Ins)

Cerita tentang lentera Diogenes tersebut dipakai penulis sebagai pengantar sekaligus pintu masuk untuk membedah dan/atau menganalisis kesadaran publik Labuan Bajo di tengah proyek Wisata Super Premium yang beberapa tahun terakhir menjadi fokus perhatian pemerintahan Jokowi. Secara khusus, tulisan ini terinspirasi oleh Festival Kampung yang diselenggarakan oleh Prodi Seni Tari SMK Negeri 3 Komodo. Dengan menghubungkan Festival Kampung dan Labuan Bajo sebagai kota pariwisata, penulis tiba pada sebuah simpulan bahwa proyek Wisata Super Premium di Labuan Bajo belum diimbangi dengan partisipasi publik yang cukup memadai. Mayoritas masyarakat masih tinggal dalam ‘dunia mimpi dan khayalan semu’, sebab pariwisata tidak dipahami sebagai suatu karya bersama, tetapi melulu sebagai top-down project. Akibatnya, mayoritas masyarakat Labuan Bajo tertinggal dan tersisih bahkan terasing dari suatu dunia yang sebenarnya potensial untuk mereka. Bagaimana membaca fenomena ini? Masih perlukah ‘lentera Diogenes’ di tengah proyek Wisata Super Premium Labuan Bajo?

Festival Kampung

SMK N 3 Komodo sebagai salah satu lembaga pendidikan dengan status pendatang baru (new comers) mampu memberikan sebuah terobosan berupa “Festival kampung” dengan tujuan untuk mempromosikan seni dan budaya di kota super premium Labuan Bajo. Tentu ini merupakan sebuah moment langkah (rare events) di mana event bertajuk kreasi seni ini menampikan beragam Tarian Tradisional, Tarian Kontemporer, Tarian Modern dan Monolog hingga Stand Up Comedy. Festival kampung berlangsung di empat titik berbeda yakni di Rumah Tenun Baku Peduli, Desa Liang Ndara, Desa Poco Rutang dan berpuncak di Desa Loa, Bukit Porong sebagai salah satu desa yang menjadi pilot project dari Dinas Pariwisata Ekonomi Kreatif dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai Barat.

Dalam pelaksanaan festival ini, Prodi Seni Tari SMK N 3 Komodo sebagai panitia utama dan dibantu oleh panita lokal di masing-masing lokasi event. Bentuk kolaborasi ini merupakan salah satu bentuk edukasi kepada masyarakat lokal untuk terlibat secara aktif dalam menyelenggarakan event di daerahnya sendiri.

‘Festival Kampung’ (Goes to the Village) merupakan suatu pentas yang menarik dan sangat profokatif. Mengapa demikian? Hemat penulis, event memberikan kesadaran bagi masyarakat lokal yang mungkin selama ini tertidur ataupun tidak sadar akan potensi kearifan lokal berupa adat istiadat atau kebiasaan, kuliner, pemanfaatan homestay, kerajinan atau souvenir khas lokal yang dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi wisatawan. Lemahnya kesadaran masyarakat sangat berpengaruh terhadap menurunnya minat wisatawan untuk berkunjung ke desa karena atraksi yang ditawarkan terlalu monoton, sehingga lengt of stay juga menjadi sangat singkat.

Hadirnya Festival Kampung ini diharapkan mendorong respons masyarakat lokal terhadap penyelenggaraan pariwisata berbasis masyarakat di desa wisata. Hausler (2005) mendefinisikan Community Based Tourism (CBT) sebagai bentuk kegiatan pariwisata yang memberikan kesempatan kepada komunitas lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pengembangan pariwisata. Komunitas lokal yang dimaksudkan adalah masyarakat setempat sebagai aktor utama dalam mengoptimalisasikan potensi sumber daya yang dimiliki.

Partisipasi Publik

Arti penting partisipasi masyarakat dalam proyek pariwisata diungkapkan oleh Johnson dalam artikelnya yang berjudul “Realizing Rural Community Based Tourism Development: Prospects For Social-Economy Enterprises” (Johnson, 2010). Penelitian ini dilakukan di Canada dengan tujuan untuk meninjau peran komunitas lokal dan dampaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi di tengah masyarakat. Hasilnya adalah komunitas lokal berperan penting dalam mengemas produk kearifan lokal dan dibutuhkan pula kerja sama organisasi/kelembagaan yang membantu berjalannya perkembangan pariwisata di dalam desa tersebut.

Sementara itu, Tosun (2000) memaparkan beberapa penemuan terkait dengan minimnya partisipasi komunitas lokal dikarenakan oleh faktor-faktor berikut ini. Pertama, keterbatasan operasional yaitu sentralisasi administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan minimalnya informasi pariwisata. Kedua, keterbatasan struktural yaitu berupa sikap pelaku pariwisata, terbatasnya tenaga ahli, dominasi elite masyarakat, aturan hukum yang belum tepat, sedikitnya jumlah sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten. Ketiga, keterbatasan kultural yaitu terbatasnya kapasitas terutama pada masyarakat miskin dan apatis atau rendahnya kesadaran pariwisata masyarakat lokal.

Dalam hubungannya dengan kepariwisataan, komunitas lokal sebagai pelaku wisata di desa perlu melakukan langkah-langkah konstruktif berikut ini. Pertama, melakukan assesment terhadap manajemen pengelolaan sehingga mampu melihat sejauh mana keberhasilan dari setiap setiap progam melalui indikator kinerja dan pencapaian. Kedua, memperkuat entitas lokal yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi seni dan budaya secara bijaksana. Ketiga, mengemas aktivitas masyarakat seperti berkebun dan menenun sebagai atraksi yang dapat menawarkan pengalaman (experience) bagi wisatawan.

Keterlibatan komunitas lokal di tengah pembangunan pariwisata super prioritas Labuan Bajo merupakan representasi dari adanya penyelenggaraan pariwisata berbasis masyarakat dalam rangka mewujudkan pariwisata berkelanjutan yang memberikan dampak jangka panjang bagi seluruh sektor kehidupan. Hal ini selaras dengan kajian Dangi dan Jamal (2016) bertajuk “An Integrated Approach to Sustainable Community-Based Tourism. Menurut penelitian tersebut, hubungan yang kuat antara pariwisata berkelanjutan dan pariwisata berbasis masyarakat berkontribusi secara positif terhadap kesetaraan/keadilan sosial, secara khusus bagi masyarakat lokal.  

Sinergi

Meskipun demikian, harus disadari bahwa partisipasi masyarakat tidak identik dengan absennya perhatian pemerintah. Dunia kepariwisataan mensyaratkan sinergi lintas pihak. Sinergi begitu vital dan urgen, sebab kepariwisataan selalu bermultidimensi. Menurut Walton dalam Sulasmi (2009), definisi yang paling sederhana dari sinergi adalah hasil upaya kerjasama atau ‘co-operative effort’, karena itu inti dari proses untuk menghasilkan kualitas sinergi adalah kerjasama. Intensitas membangun jejaring merupakan kunci utama dalam sebuah keberhasilan. Membangun kerja sama internal yang produktif dan membangun kemitraan yang baik dengan para pemangku kepentingan merupakan cara tepat untuk menciptakan sebuah karya seni dan budaya yang bermanfaat di tengah masyarakat. Sinergi seperti ini diperlukan agar kedepannya festival kampung yang diselenggarakan oleh Prodi Seni Tari SMK N 3 Komodo mampu melahirkan program-program inovatif lainnya dan mendorong tumbuh berkembangnya potensi anak-anak desa dalam dunia seni pertunjukan khususnya di daerah tujuan wisata.

Pitana dan Gayatri (2005), menyebutkan bahwa sektor pariwisata ditopang oleh tiga pilar utama yaitu pemerintah sebagai fasilitator, swasta sebagai pendukung atau pemilik modal, serta masyarakat lokal sebagai pihak yang menerima dan berinteraksi langsung dengan wisatawan. Ketiganya merupakan aktor sosial yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Semua aktor sosial tersebut harus berjalan bersama untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih optimal, khususnya bersinergi dalam mewujudkan program desa wisata yang unggul dan inovatif.

Pemerintah daerah khususnya Dinas Pariwisata Ekonomi Kreatif dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai Barat perlu mendorong program pemberdayaan (empowering programme) yang menitikberatkan masyarakat lokal sebagai subjek atau pelaku pariwisata. Hal itu dilakukan melalui pelatihan kepemanduan wisata, pelatihan keterampilan dan skill, serta dengan melibatkan masyarakat dalam hal perencanaan sampai dengan pengambilan keputusan.

Selain sinergi, kebijakan publik dari pemerintah juga perlu menyasar lembaga-lembaga pendidikan. Mendorong pertumbuhan SDM yang berkualitas merupakan tanggung jawab utama pemerintah daerah dalam menyukseskan praktik penerapan pariwisata berbasis masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan terus mendukung dan memfasilitasi “Festival Kampung” yang menjadi program unggulan SMK N 3 Komodo dalam bersinergi dengan desa wisata yang ada di Kabupaten Manggarai Barat. Oleh karena itu, pemerintah daerah juga perlu memfokuskan perhatian penuh terhadap lembaga pendidikan yang menjadi inisiator dalam festival kampung melalui pengadaan peralatan seni dan budaya, melakukan promosi secara masif serta koordinasi dengan asosiasi lokal seperti ASITA, HPI dan asosiasi terkait lainnya yang memiliki kepentingan yang sama di dunia pariwisata.

Akhir kata, Festival Kampung yang diselenggarakan SMK Negeri 3 Komodo di satu sisi merupakan suatu ajang atau pentas seni budaya. Namun di sisi lain, kegiatan tersebut merupakan suatu otokritik pelaku pariwisata super premium Labuan Bajo. Hal yang dikritik ialah rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam berwisata, dan di sisi lain kurangnya sinergi lintas pihak dalam membangun Labuan Bajo sebagai kota pariwisata super premium. Oleh karena itu, pada masa mendatang, publik dan pemerintah Labuan Bajo diharapkan semakin responsif dan kreatif dalam mengelola pariwisata Labuan Bajo.