Oleh: Sil Joni*

Setiap hajatan formal yang diselenggarakan oleh sebuah instansi, baik milik negara maupun swasta, pasti dilengkapi dengan sesi pengambilan gambar. Pihak sponsor atau para penentu kebijakan, tidak terlalu percaya dengan kata-kata yang ditulis dalam sebuah laporan resmi.

Laporan itu, mesti dilengkapi dengan foto-foto yang dibidik secara kreatif pada momen itu. Tubuh peserta dan penyelenggara mesti terpampang nyata dalam pose yang dijepret dari pelbagai sudut itu. Dengan demikian, tubuh juga menjadi sebuah dokumen otentik sehingga hajatan itu jauh dari tafsiran yang bias.

BACA JUGA: Siswa-Siswi SDK Roe dan SMPN 2 Mbeliling Tanam Pohon Merbau di Desa Cunca Lolos

Rasanya, ada yang kurang jika sebuah seremoni resmi tidak dilengkapi dengan foto pendukung. Karena itu, pihak panitia biasanya menyisipkan ritual foto bersama dalam rundown acara itu. Pose dalam aneka gaya, sudah menjadi salah satu bukti otentik bahwa sebuah kegiatan telah digelar.

Apakah dengan menghadirkan badan dalam proses pendokumentasian sebuah program, ada semacam penghargaan yang lebih terhadap tubuh? Benarkah status raga telah direhabilitasi sebagai entitas yang tak terpisahkan dari pikiran? Pikiran yang terekspresi dalam teks laporan akan pincang jika tidak ditopang oleh badan. Untuk itu, badan dan pikiran itu, harus sejalan.

Kita tahu bahwa tubuh selalu dipandang secara berbeda dalam setiap zaman, sepanjang sejarah. Diskursus atas tubuh selalu berkembang dan memunculkan suatu gagasan baru.

BACA JUGA: Wabub Mabar Wajibkan Semua Desa Tanam Bambu

Dalam literatur filsafat, wacana tentang tubuh, terpetakan dengan jelas. Pada zaman Yunani klasik, diskursus filosofis itu berfokus pada ide dualisme tubuh dan jiwa. Esensi tubuh selalu dikontraskan dengan jiwa.

Socrates yang dikenal sebagai bapak filsafat misalnya, beranggapan bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa. Tubuh hanya dilihat sebagai tabung tempat jiwa bersemayam. Isu dualisme tubuh-jiwa diusung oleh Plato.

Dengan tegas, beliau menyatakan bahwa jiwa lebih unggul dari tubuh. Karena itu, keindahan yang tertinggi dan absolut terletak pada keindahan jiwa. Meskipun Plato sendiri tidak menolak keindahan tubuh, namun baginya keindahan tubuh adalah jembatan menuju keindahan sejati, ialah keindahan jiwa. Sedangkan Aristoteles, menganggap bahwa tubuh dan jiwa adalah dualitas yang tak terpisahkan.

Pemikiran filosofis pada zaman Yunani kuno ini, diadopsi oleh sejumlah pemikir kekristenan awal dalam refleksi teologi. Perbincangan mengenai tubuh bertumpu pada dogma teologis yang mengacu pada kesucian dan spiritualitas.

Di satu sisi, tubuh dipandang sebagai bait Tuhan. Tetapi, pada sisi lain, dan ini yang paling dominan, tubuh dipandang sebagai musuh karena tubuh dapat membawa jiwa pada kenikmatan dunia dan membawa diri melenceng dari jalan Allah. Dengan rumusan lain, badan dianggap sebagai ‘sumber dosa’.

BACA JUGA: Seorang Polisi di Labuan Bajo Ditebas Warga Hingga 2 Jari Putus

Boleh dibilang, pada era ini, tubuh benar-benar tersubordinasi dan diasingkan oleh wacana spiritualitas dan keagamaan. Betapa tidak. Tubuh dianggap mampu membawa manusia jatuh ke dalam kubangan dosa dan kenikmatan dunia. Hidup dalam kesucian adalah hidup yang ‘mengingkari’ keinginan daging.

Pandangan negatif tentang badan, dalam skala tertentu, masih membekas hingga dewasa ini. Meski demikian, umumnya saat ini, para pemikir cenderung melihat tubuh secara positif. Tubuh adalah cara berada manusia dalam dunia. Manusia tidak mungkin ‘berkelana’ di bumi, tanpa badan.

Kembali ke topik di atas. Apakah tindakan mengabadikan tubuh dalam bentuk pengambilan gambar (foto), bisa dibaca sebagai manifestasi pandangan yang positif terhadap tubuh? Apakah tubuh yang ada dalam foto bisa mewakili diri seseorang dan karena itu dianggap telah hadir dalam sebuah kegiatan?

Tidak mudah untuk menjawab secara defenitif terhadap pertanyaan itu. Satu yang pasti bahwa pada era teknologi digital ini, tubuh manusia diarak ke ruang publik sebagai alat bukti bahwa kita telah mengikuti atau melaksanakan kegiatan. Tubuh, bahkan menjadi obyek tontonan dalam ruang digital saat ini.

Jika tulisan dilihat sebagai instrumen mengawetkan pikiran, maka foto bisa menjadi sarana mengekalkan raga. Dalam dan melalui selembar gambar, terungkap secuil kisah dan suasana tertentu dari para pelaku yang terlibat. Bahkan ada kesan bahwa foto jauh lebih bertenaga dalam membahasakan pesan, ketimbang kata-kata.

Tidak heran, jika saat ini mayoritas warga-net lebih terpesona untuk bersewafoto dan memamerkannya ke ruang digital ketimbang membagi pikirannya dalam bentuk tulisan. Umumnya kita lebih suka merespons atau memberikan pendapat tentang foto, ketimbang sebuah artikel opini yang bermutu. Daya tarik foto, rasanya sulit ditandingi oleh narasi yang dikonstruksi dalam pelbagai gaya.

Menguatnya gejala mengabadikan tubuh melalui lensa kamera digital, dengan demikian, bisa berimplikasi pada meredupnya pesona budaya tulis. Kultur literasi, bakal mengalami nasib tragis sebab kalah bersaing dengan dunia fotografi.

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.