Indonesia itu luas, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, tetapi hanya segelintir tokoh bangsa atau pahlawan nasional yang kita kenal perjuangannya pada masa kolonialisme Belanda. Sebagian dari kita acap kali lebih mengenal pahlawan nasional yang berjuang di Indonesia bagian barat, entah itu Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, dan beberapa tokoh lain dari Pulau Jawa ataupun Sumatra.
Perhatian saya pun tertuju pada tokoh bangsa dari Indonesia bagian timur dalam bahasan kali ini. Bukan Pattimura, bukan Martha Christina Tiahahu, melainkan Motang Rua, pahlawan dari Flores, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kraeng Guru Rombo Pongkor Motang Rua (Ame Numpung) yang tercatat hidup pada 1864-1952 adalah seorang panglima perang dari Kerajaan Todo-Pongkor, Manggarai. Motang Rua dikisahkan mengangkat senjata melawan Belanda karena sang pendatang tidak memahami budaya dan adat Manggarai. Dalam buku “Manggarai: Mencari Pencerahan Historiografi” karya Dami N. Toda, Motang Rua melakukan pertempuran di tanah Manggarai melawan kolonialisme Belanda. Pemicu pertempuran disebabkan Belanda melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan perjanjian Borong yang berisi penghormatan terhadap hak Kerajaan Todo-Pongkor selaku penguasa wilayah Manggarai. Hal ini diperparah dengan diturunkannya status Todo-Pongkor menjadi kedaluan (unit wilayah di bawah kerajaan) yang memicu kemarahan para tetua adat.
Pada Maret 1908, Kapten Spruijt (kala itu kemungkinan besar adalah komandan pasukan Marechausse te voet atau korps Marsose, sebuah kesatuan elit dari tentara kolonial KNIL) memerintahkan rakyat Todo-Pongkor mengantarkan bahan bangunan untuk mendirikan kantor administrasi sipil Belanda di Todo. Hal ini tidak dipatuhi oleh seluruh rakyat yang di bawah perwakilan kepala-kepala adat menyatakan penolakannya terhadap perintah Belanda itu. Belanda kemudian berhasil meyakinkan penguasa Todo-Pongkor berikutnya, Kraeng Tamur untuk memindahkan pusat pemerintahan Todo-Pongkor ke Ruteng. Setelah hal itu disetujui Kraeng Tamur, Belanda pun segera mendirikan perkantoran di Ruteng dengan bantuan penduduk lokal. Hal ini dipandang sebagai kesalahan fatal oleh beberapa tokoh senior Todo-Pongkor, di antaranya Motang Rua.
“Disebut fatal karena Todo menolak Belanda yang memiliki kesatuan militer yang tangguh,” jelas sejarawan asli Manggarai, Servulus Erlan de Robert, saat dihubungi GNFI pada Kamis (9/4). “Setelah traktat Sumatra pada 1872, Belanda memiliki tujuan pax neerlandica (pembulatan wilayah jajahan). Oleh karena itu, terjadi perlawanan di sejumlah wilayah seperti Aceh, Bali, dan Nusa Tenggara. Wilayah Manggarai pada masa itu diklaim oleh Kesultanan Bima (Nusa Tenggara Barat) sebagai wilayahnya walau secara de facto Manggarai tidak menyatakan tunduk padanya. Belanda yang telah menaklukkan Bima kemudian datang ke Todo kerajaan yang paling berpengaruh di Manggarai pada saat itu untuk mendirikan pusat pemerintahannya. Awalnya permintaan itu diterima. Namun, dalam perkembangannya, terjadi penolakan karena tindakan semena-mena Belanda yang memaksa masyarakat Todo ikut serta dalam pembangunan dan wajib menyumbangkan material. Hal inilah yang memicu perang di Manggarai,” imbuh Erlan yang merupakan alumnus Universitas Indonesia dan meraih gelar S2 di Universitas Pertahanan Indonesia.
Perlawanan Motang Rua berpusat di kawasan Manggarai bagian tengah yakni di Kuwu, Copu, dan Beo Kina. Sejumlah pasukan di bawah arahannya menyebar di kawasan Barat yaitu Ndoso, Kolang, dan Rahongyang dengan tujuan menghentikan suplai bantuan kepada Belanda yang berada di Ruteng. Pada 2 Agustus 1909, Belanda mengadakan sebuah ekspedisi untuk menghancurkan perlawanan Motang Rua dalam pertempuran di Ngalor Sua, 10 orang pasukan Belanda tewas dan satu orang dari pihak penyergap berhasil ditumbangkan. Hal ini memicu perang yang lebih besar. Beberapa benteng pasukan Motang Rua di Beo Kina dibakar habis, perlawanan di daerah Copu, Wetik dan Rejing pun dapat dibasmi Belanda.
“Setahu saya mereka (Motang Rua dan pasukannya) memegang senjata yang direbut dari Belanda, tetapi awalnya mereka menggunakan tombak korung dan parang kope. Banyak tentara Belanda tewas karena Motang Rua pakai taktik gerilya dan lebih menguasai medan perang,” terangnya lagi.
Belanda kemudian menangkap pemimpin adat Pongkor, Kraeng Wanggur Laki Tekek Laki Mangir bersama anggota keluarganya serta menyebarkan ancaman bila Motang Rua tidak menyerahkan diri. Beberapa pasukan Belanda yang berupaya meringkus Motang Rua sadar betul bahwa panglima perang Todo-Pongkor ini susah dikalahkan karena selain kelihaiannya menyusun taktik, ia dipercaya memiliki ilmu kebal. Toda menjelaskan, ketika di kemudian hari Motang Rua menyerahkan dirinya kepada Belanda, beberapa serdadu pun menjajal ilmu kebal yang dimilikinya, dan terbukti bahwa tembakan senjata api tidak melukai tubuhnya. Jilis A.J. Verheijen dalam karyanya, “Manggarai dan Wujud Tertinggi” mengonfirmasi adanya kepercayaan terhadap Ata Mbeko (tukang sihir/dukun) yang memiliki ilmu kebal semacam Motang Rua.
“Hal tersebut mungkin terlalu dibesar-besarkan, tetapi yang jelas eksistensi perdukunan di Manggarai hingga saat ini memang benar adanya, sehingga tidak mengherankan apabila Motang Rua selaku petinggi kerajaan memiliki “kesaktian”,” kata Erlan.
Motang Rua menyerahkan dirinya pada 1910 bersama pengikut-pengikutnya. Mereka segera disidang di Reok. Dalam persidangan Indlandsche Rechtbanken en Rechtspraak van bijzonderen Aard over Inlander en Vreemde Oosterlingen in de Bezittingen Buiten Java en Madoera, Motang Rua dijatuhi hukuman pembuangan ke Batavia dan Aceh.
